Rabu, 01 April 2009

Prelude Obiter Dicta

Tanggapan atas tulisan Salto Mortal:
Prelude Obiter Dicta
Soesilo Toer

Mas Gun, aku adalah pemulung amatir. Hampir semua kupungut di perjalanan panjang hidupku, termasuk sajak penyair pemula ini:

Aku ini gelap...
tertutup kabut hitam
berselimut jaring ketam
hidup bagai budak
tak pernah merasa nyaman

Begitulah kiranya track recordku selama ini, sampai kemudian kupungut Salto Mortalmu beberapa waktu yang lalu. Aku bak menemukan lentera, pelita yang memberi pencerahan sujud senjaku. Sungguh tak tahu aku sebelumnya apakah ini le bonne volonte, Blodsinn atau Effahrungnya seorang pasifis dan pesimis seperti diriku ini. Padahal berapa lamakah kita ini bisa hidup. Vita brevis. Padahal kita mau abadi, setidaknya nama, setidaknya karya. Ars longa. Tak usahlah seperti Gerald Croiset, seorang yang mempunyai kekuatan dan kemampuan supra natural. Matanya itu mas, mampu menembus ruang dan waktu. Ia mampu mengendus suatu peristiwa yang akan terjadi. Juga yang sudah terjadi. Namun ia juga manusia biasa, yang tidak bisa mengendus panjang umurnya sendiri. Ia manusia biasa dengan kekurangan, kebodohan dan segudang kesalahan dan kekeliruannya. Apa kurangnya dia? Harta ketenaran, kehebatan? Semua! Lalu siapa diriku? Mana mungkin aku mengatur orang lain? Tidak sendirian lagi. Sedang tiap individu punya sejuta ego, ambisi, hasrat, nafsu. Aku ini paria, budak. Banyak ungkapan indah orang besar, ternama, pemikir. Semua hasil renungannya, pencerahannya. Namun teori mengalahkan bukti. Dikatakan dengan etikad baik, yang terjelekpun bisa diselesaikan. Epist etimologi apa ini?

Dalam lukisan karya Bayu Widodo (2006), yang turut dipamerkan dalam acara yang menelorkan Salto Mortal mu yang penuh pencerahan, gelitik kritik dan segudang harapan, tertera tesis, barangkali juga sintesis: “tiap manusia punya hak yang sama”. Betapa agungnya, betapa bermaknanya. Seperti yang anda sitir dari bak renungannya mas Moek “adil sejak dalam pikiran”. Dalam ilham ada faktor-faktor kausatif yang tidak terdeteksi oleh kesadaran otak manusia. Dan ini adalah ironi hidup semua orang! Ironi yang juga menyangkut diri anda, aku dan kita semua. Monumen dan moment seperti ini adalah lumrah. Siklus hidup kita itu memang demikian. Dalam tubuh kita ini terdapat semua photon, energi yang beku dan kalau ia mencair akan mengakibatkan efek ketidakseimbangan. Baik itu positif, baik itu negatif, produktif maupun kontra. Tak ada yang abadi, semua berubah. Juga Komunitas Pasang Surut. Makin modern masyarakat makin penuh dengan kerangkeng, rambu dan warning. Perkawinan juga kerangkeng yang disakralkan. Dan orang mencari kerangkeng itu untuk memenjara dirinya. Dengan sukarela dan sukahati lagi. Mungkin dalam menemukan pencerahan, dalam mencari jati dirinya orang mencoba mencairkan energi yang beku tersebut. Dengan pengorbanan menyertainya. Bahkan sampai nyawa taruhannya. Mungkin dongengnya akan lain kalau tidak terjadi pelecehan seksual atas moralis Rousseau di masa kanak-kanaknya. Juga dengan diri tokoh setenar Tschaikovsky dengan “Swan Lake” nya, roman percintaannya yang mengharukan, perkawinannya yang tragis, penyimpangan seksualnya yang romantis dan kematiannya yang menyedihkan. Tak beda dengan tsarina Rusia yang paling hebat sejagad. Janda, tawanan, butahuruf, dan kepala pacar gelapnya yang menghiasi peraduannya. Tak beda dengan pemunculannya raja fisikawan Stephen Hawking, yang sudah dipunish mati oleh medik Amerika. Ironi manusia dengan segala kekecualian dan keberuntungannya campur aduk antara yang produktif dan kontranya. Nasib manusia tergantung bukan pada dirinya sendiri, keringatnya, tapi juga tangan jahil-manis lingkungannya. Tak tahu aku apakah Einstein bisa menemukan teori khusus dan umum relativitas tanpa cerutu dan gaya bohemiannya yang khas, nglomprot, cuek atas segala kemapanan. Hidup praktis, bermanfaat. Juga Chairil Anwar, apa dia jadi dia tanpa ngembun, juga Van Gogh yang nyentrik. Apa bedanya dengan Multatuli, philantropist gaek, Gandhi, atau Samin Surontiko, sang Robinhood Jawa, atau mas Moek sendiri dengan karyanya, enertia karya merupakan kelahiran kebetulan yang serba kebetulan. Yang utama adalah caranya bukan hasilnya. Merokok, minum tak ada kaitannya dengan ilham namun katanya keduanya saling mengisi dan melengkapi untuk mencapai klimaks berimajinasi. Mungkin setiap orang berusaha berbuat seperti apa yang dianggapnya benar. Mereka lebur dalam berimajinasi duka dan nestapa. Semua itu adalah norma dan bukan yang lain untuk mewujudkan teka-teki datangnya pencerahan, V.A.

Mas Gun, tak berani aku berjanji kepada anda dan kepada siapapun. Anggaplah ini sekedar obiter dicta antara kita berdua dan semua mereka yang contained. Semua dari kita dibedakan oleh diffrentia spesifica. So, in attempt to take success or fail, let bygones be bygones and keep alive our community. Napoleon pernah berucap bahwa antara jaya dan nista itu cuma selangkah bedanya.

Sebagai penutup kudongengkan cuplikan hidupku dengan mas Moek khusus buatmu:

Itu terjadi tahun 2005, terakhir kali mas Moek datang ke Blora. Anak isteri dan cucu lanjut ke Surabaya dan Bali. Aku dapat tugas mengawalnya pulang ke Bojonggede. Bangga, ragu dan juga sedikit kecut. Sebab seumur hidup baru pertama kali dapat tugas seperti itu. Alasan mas Moek batal kia-kia karena banyak kerja. Baru sekitar lima kilometer dari Blora sudah timbul masalah. Mas Moek ternyata beser. Tak ingat aku berapa kali aku mengawalnya ke kakus. Sekali peristiwa, karena bus oleng, mas Moek kehilangan keseimbangan dan tersungkur di koridor bus. Sudah begitu rapuh dia. Padahal waktu pulang dari pulau Buru, ia menantangku main panco. Dan kulayani. Aku kalah karena kalah wibawa. Sepanjang perjalanan ia tampak gelisah, tak mau makan bawaan bekal isterinya, justru bekalku yang dibabatnya. Sesudah sampai di Bogor, ia baru mengungkapkan kegelisahannya. Ternyata ia lupa alamat rumahnya sendiri. Baru ketika kami turun dan sampai di gang “Warung Ulan”, kegelisahannya sirna. Ia tergopoh-gopoh dengan gaya njentit, yang kaya teman-teman bekas tapol, jalannya sudah bikin sewot para petugas. Ketika pintu gerbang dibukakan oleh penjaga rumah semua bekal diberikan kepadanya sebagai oleh-oleh. Ia kemudian ngacir ke lemari buffet, mengambil sesuatu menuang dan mereguknya, bersulang denganku dan kemudian dari subuh sampai sore ia berkutat di kamar kerjanya, tanpa makan. Jadi di samping merokok dan dirokok, mas Moek ku pun suka minum, mas Gun. Tapi tolong jangan bilang siapa-siapa ya!

Blora, 25 Maret 2009

Salto Mortal

Salto Mortal
 
Gunawan Budi Susanto
 
DULU, saat remaja, saya jadi peminum. Saya menemu pembenaran dalam unen-unen: urip kuwi amung mampir ngombe. Maka, malam-malam pun jadi hambar jika lidah tak mencecap arak, ciu, atau tuak yang meruapkan kehangatan yang melenakan.
Mabuk jadi modus perlawanan dari kemapanan yang menyerikan. Lalu, bermetaforfosis jadi suaka dari kenyataan hidup yang tak menyamankan perasaan dan memempatkan pikiran. Arak, ciu, tuak membuat saya merasa jadi pemberani, digdaya, super.
Bertahun-tahun kemudian baru saya menyadari betapa dogol sikap dan tindakan itu. Betapa bebal! Mabuk malih rupa jadi tameng bagi kemalasan, tabir bagi kegamangan menghadapi kekerasan realitas kehidupan. Ya, mampir ngombe arak, ciu, tuak setiap malam bertahun-tahun telah menguras segenap daya hidup, mengenyahkan élan vital, untuk berbuat baik dan benar. Jiwa saya mengerdil, kepribadian saya berantakan, dan orbit sosial saya pun menyempit. Kontraproduktif! Saya jadi parasit bagi keluarga, sampah bagi ruang sosial.
Sampai suatu ketika saya memutuskan hidup sehat, tanpa minuman keras. Maka, ketika seorang kawan mengoleh-olehi sebotol wine, saya simpan botol seksi itu tanpa pernah membukanya. Sampai sekarang. Setelah berpuluh tahun lewat, setiap kali melihat botol seksi itu, saya membatin, “Itulah monumen kebodohan saya.”
Karena itulah, Pak Soesilo Toer, saya geram, teramat geram saat menyaksikan segelintir anak muda, yang mengaku seniman dan eksponen kelompok punk, menenggak minuman keras di Perpustakaan Pramoedya Anak Blora (Pataba). Ironi memedihkan: pengenyahan energi kreatif justru di sarana pembelajaran dan pencerdasan intelektual.
Celaka, ironi itu bisa menjadi salto mortal, salto kematian, bagi Pataba dan Komunitas Pasang Surut – aliansi berbagai elemen masyarakat di Blora, penggemar karya-karya Pramoedya Ananta Toer, kakak sampean. Lantaran, ulah itu berlangsung saat Pataba dan Komunitas Pasang Surut menyelenggarakan perhelatan “1000 Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa”, 1-7 Februari silam.
Perhelatan itu adalah tonggak keberhasilan upaya awal sampean dan kawan-kawan. Puluhan komunitas dari berbagai kota di Indonesia terlibat. Puluhan orang tua dan kaum muda dari beragam latar belakang disiplin dan politik-ideologis datang, berdialog, dan berproses bersama dalam kesetaraan. Tanpa syakwasangka, tanpa kecurigaan – melawan iklim pergaulan yang terbangun puluhan tahun dalam cengkeraman rezim penguasa yang tiranik-militeristik.
Perhelatan untuk mengenang seribu hari kematian Pram itu jadi ajang pertemuan dan dialog lintas-generasi, lintas-ideologi, dan lintas-disiplin. Juga dialog antara masa lalu dan masa kini. Rekonsiliatif.
Dan, itu bukan buah kerja sehari-dua. Namun bertahun-tahun. Itu bermula dari upaya sampean membuka “rumah hantu” – peninggalan mendiang M Toer, ayah sampean dan Pram – dan menjadikannya “rumah budaya”. Kini, rumah di Jalan Sumbawa 40 Blora itu jadi ruang terbuka bagi siapa pun untuk belajar bersama dalam kerja kebudayaan: mengekspresikan kemanusiaan secara cerdas melalui berbagai cara, termasuk kesenian dan kegiatan intelektual.
Bukan perkara mudah mengubah atmosfer rumah yang berpuluh tahun -- sejak sampean cum cuis diasingkan ke Pulau Buru – diwartakan sebagai rumah berhantu: hantu beneran bagi kanak-kanak dan “hantu komunis” bagi manusia dewasa. Dan, menjadi rumah yang ramah bagi siapa pun yang mau menyadari bahwa manusia mesti mengedepankan kemanusiaannya. Secara merdeka pula. Ya, bukankah Pram pernah menyatakan seorang terpelajar harus bersikap adil bahkan sejak dalam pikiran?
Nah, ketika rumah itu sudah didatangi banyak orang dari berbagai kawasan, dari beragam latar belakang, menyingkirlah sang hantu dari benak anak-anak. Perkara lebih sulit adalah mengenyahkan sosok hantu yang dihidup-hidupkan dalam kesadaran manusia dewasa.
Tak gampang mengubah, terlebih menghilangkan, stigma yang kadung melekat: bahwa (sampean cum cuis adalah) komunis, sejahat-jahat manusia, dajal laknat, leletheking jagad gelah-gelahing bumi. Apalagi tak banyak orang mau bersusah-susah mengusut tuntas benarkah sampean (pernah jadi) komunis. Padahal, bukankah dalam “surat pembebasan” disebutkan, sampean, Pram, serta Prawita Waloejadi Toer dan Koesalah Soebagjo Toer tak terbukti bersalah terlibat “G30S/1965”? Aneh dan lucu! Lantaran, sampean cum cuis memang tak pernah diajukan ke pengadilan bukan? Jangankan pengadilan yang adil, jujur, dan terbuka, pengadilan bohong-bohongan pun tak.
Ah, sudahlah…. Kini, jauh lebih penting adalah upaya nyata menghilangkan stigma itu seiring selangkah dengan kerja kreatif untuk menjemba masa depan yang beradab dan berkeadilan bukan?
Namun, sungguh, ulah segelintir kawan di perpustakaan di samping rumah induk itu bisa mengganjal niat dan ikhtiar membangun (atmosfer) rumah budaya sehingga jadi wahana pembelajaran bagi siapa pun untuk menjadi manusia merdeka. Upaya keras sampean menghilangkan stigma belum sepenuhnya berhasil. Namun, kini, bisa ternodai dan muncul stigma tambahan: rumah (itu adalah tempat berkumpul) kaum bergajulan.
Alih-alih sebagai manifestasi kesadaran ideologis (antikemapanan) atau jadi energi kreatif yang ngedab-edabi, mereka menenggak minuman keras lebih sebagai gaya hidup yang kontraproduktif. Cermin ketiadaan daya juang, ketiadaan élan vital. Minum minuman keras, bagi mereka, telah menjadi suaka dari ketidakberdayaan, dari kemalasan, dari kompleks rendah diri.
Pak Soes, sebelum ngambra-ambra, gaya hidup dekaden itu mesti diperangi. Tak ada tempat dan saat bagi sang pemalas untuk tumbuh jadi benalu, jadi parasit, yang kelak membunuh tanaman induk.
Saya percaya, tujuan dan ikhtiar yang baik mesti ditempuh dan diwujudkan dengan cara yang baik, cara yang indah. Membiarkan kemalasan, menenggang gaya hidup dekaden, jelas kontraproduktif bagi pembelajaran bersama untuk jadi manusia merdeka. Saya yakin, jika Pram masih hidup, dia pasti menyetujui sikap dan pendapat saya. Akhirul kalam, merdeka!
 
(Dimuat di rubrik “Latar” Suara Merdeka, Minggu, 8 Maret 2009, halaman 27)

Selasa, 24 Maret 2009